Oleh : Mandala Putra
Senin 20 Mei 2013
Senin 20 Mei 2013
Instrumen Keuangan Publik Islam: Non-Zakat
Infak, Sedekah, Wakaf
1.
Definisi
a.
Sedekah
Sedekah secara bahasa berasal dari kata "shadaqa" yang artinya
"benar". Pengertian sedekah sama dengan pengertian infak sama juga
hukum dan ketentuannya, perbedaannya adalah infak hanya berkaitkan dengan
meteri sedangkan sedekah memiliki arti luas menyangkut juga hal yang bersifat
non materil.[1]
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan) oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah seperti sebutir benih yang tumbuh tujuh tangkai, pada tiap-tiap
tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S Al Baqarah
: 261).
Secara prinsip sedekah tidak berbeda dengan infak,
namun dalam beberapa hadits Rasulullah Saw. memberikan penjelasan bahwa sedekah
yang merupakan suatu pemberian kepada orang lain tidak harus dalam bentuk
materi, dimana Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah
kalian menganggap remeh kebaikan itu,
walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain,” (HR. Muslim).[2]
Bahkan dalam Undang-Undang nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, definisi sedekah sama dengan definisi infak,
yaitu harta yang dikeluarkan oleh
seseorang atau badan di luar zakat untuk kemaslahatan umum.[3]
b.
Infak
Infak adalah pengeluaran sukarela yang di lakukan
seseorang, setiap kali ia memperoleh rezeki, sebanyak yang ia kehendaki.
Menurut bahasa infak berasal dari kata anfaqa
yang berarti mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut
istilah syari'at, infak adalah mengeluarkan sebagian harta yang diperintahkan
dalam Islam. Infak berbeda dengan zakat, infak tidak mengenal nisab atau jumlah
harta yang ditentukan secara hukum. Infak tidak harus diberikan kepada mustahik tertentu, melainkan kepada
siapapun misalnya orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, atau orang-orang
yang sedang dalam perjalanan.[4] Hal
ini sesuai dengan isi dari Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 215, yang artinya: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang
kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”
Menurut Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau
badan di luar zakat untuk kemaslahatan umum. Menginfakkan harta didukung oleh
sejumlah ayat dan hadits-hadits Rasulullah Saw. yang menganjurkan, bahkan
memerintahkan untuk melakukannya dan menggalakannya.[5]
c.
Wakaf
Secara etimologis wakaf berarti berhenti, menahan,
mencegah, memahami, mengabdi dan tetap berdiri. Secara terminologis wakaf
adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau
merusak bendanya dan digunakan untuk kebaikan.[6]
Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu
hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga,
dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai dengan syariat Islam. Harta
yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan (wakif), dan bukan pula hak milik nadzir/lembaga pengelola wakaf tapi
menjadi hak milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Pertama, adalah wakaf dalam lingkungan keluarga (zurri) dan wakaf untuk lingkungan
masyarakat umum (khairi). Wakaf yang
pertama adalah harta yang digunakan untuk jaminan sosial dalam lingkungan
keluarga sendiri dengan syarat dipakai semata-mata untuk kebaikan yang berjalan
lama, seperti untuk menolong keluarga yang melarat, sakit, sedang menuntut
ilmu, dan sebagainya.
Wakaf yang kedua adalah harta yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat umum dalam hal jaminan sosial, seperti membangun masjid,
pesantren, madrasah, sekolah Islam, membantu anak yatim, orang-orang
fakir-miskin, dan sebagainya.
2.
Mekanisme
Sumber-sumber dana umat sesungguhnya tidak bisa
efektif apabila tidak dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik tentunya
harus menggunakan manajemen yang baik pula. Fakta menunjukkan bahwa cukup
banyak dana umat, meskipun belum sebagaimana harapan, yang kemudian tidak
ketahuan penggunaannya. Dana umat yang berupa tanah-tanah wakaf berjumlah
ribuan hektar, namun belum termanfaatkan dengan baik dan belum memberikan
manfaat dengan maksimal.
Karena itu sudah saatnya dana umat tersebut dikelola
secara profesional oleh suatu badan yang disetujui oleh umat dan disahkan oleh
pemerintah. Tugas utama badan ini adalah mengupayakan penghimpunan dana umat,
mengembangkan dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat.
Dibawah ini adalah cara bagaimana seseorang yang
ingin menyisihkan sebagian rezkinya melalui sedekah, infak dan wakaf:
a. Sedekah
Ketika anda ingin
bersedekah, anda bisa menyisihkan sebagian harta anda kepada yang membutuhkan
bisa dengan cara langsung mendatangi kepada lembaga ataupun kepada orang
bersangkutan langsung.
b. Infak
Sedangkan untuk orang
yang ingin berinfak bisa saja langsung menemui lembaga yang mengelolanya,
misalkan tuan Imam ingin menginfakkan uang Rp 500.000,- kesebuah Masjid, Imam
bisa langsung menemui pengelola masjid agar mengelola dan menyalurkan harta
yang diinfakkan.
c. Wakaf
Berwakaf bisa melalui
pemberdayaan Dhuafa, ataupun lembaga lainnya.
3.
Wakaf
Tunai dalam Perekonomian Modern
a)
Pengertian
Secara umum definisi wakaf tunai
adalah penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahtangankan
dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun
menghilangkan jumlah pokoknya (substansi esensial wakaf). Dalam pengertian yang
lain, wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Juga termasuk ke dalam
pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham, cek dan lainnya.
Jadi wakaf tunai atau kadang disebut
dengan wakaf uang adalah wakaf berupa uang dalam bentuk rupiah yang dapat
dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf 'alaih (penerima wakaf).[7]
b)
Dasar hukum wakaf tunai
Dewasa ini
telah disepakati secara luas oleh para ulama bahwa salah satu bentuk wakaf
dapat berupa uang tunai. Hal ini mengacu pada pendapat-pendapat dari kalangan
Imam Mazhab. Dikalangan Malikiyah popular pendapat yang membolehkan berwakaf
dalam bentuk uang tunai seperti dilihat dalam kitab Al-Majmu’ oleh Imam
Nawawi yang mengatakan, “Dan para sahabat kita berbeda pendapat tentang
berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang membolehkan mempersewakan
dirham dan dinar membolehkan wakaf dengannya dan yang tidak memperbolehkan
mempersewakan tidak mewakafkannya.”
Wakaf
tunai bagi umat Islam Indonesia memang relatif baru. Hal ini bisa dilihat dari
peraturan yang melandasinya. Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) baru memberikan fatwanya
pada tanggal 28 Shafar 1423 H / 11 Mei 2002 M, yang ditandatangani oleh KH.
Ma’ruf Amin sebagai ketua Komisi Fatwa dan Drs. Hasanudin, M.Ag. sebagai
sekretaris komisi. Fatwa MUI tersebut merupakan upaya MUI dalam memberikan
pengertian dan pemahaman umat Islam bahwa wakaf uang dapat menjadi alternative
untuk berwakaf. Lebih-lebih uang merupakan variable penting dalam pembangunan
ekonomi masyarakat. Sedangkan undang-undang wakaf disahkan pada tanggal 27 Oktober
2004 oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Meski
terlambat dibanding sejumlah negara lain, kesadaran untuk berwakaf secara lebih
produktif telah muncul pada sebagian masyarakat Indonesia. Berbagai seminar,
workshop dan pelatihan diselenggarakan untuk merumuskan cara terbaik menghimpun
dan memanfaatkan dana wakaf yang berpotensi dihimpun dalam jumlah besar. Wakaf
produktif bisa juga dilakukan dengan memanfaatkan ribuan hektar tanah wakaf
yang tersebar diseluruh Tanah Air untuk kegiatan-kegiatan ekonomi bernilai
tinggi.
Dukungan penerapan wakaf tunai telah diberikan MUI
dengan mengeluarkan fatwa pada tanggal 11 Mei 2002. Dalam beberapa poin fatwa
tersebut menyatakan:
1. Wakaf uang (cash wakaf / waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok
orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang.
2. Termasuk ke dalam
pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf uang
hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang
hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5. Nilai pokok
wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan
atau diwariskan.
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) wakaf yang telah
disusun, dinyatakan barang wakaf bisa berbentuk benda tidak bergerak atau benda
bergerak. Benda tidak bergerak seperti tanah hak milik dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah. Sementara benda bergerak meliputi uang, logam mulia, surat
berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektul, hak sewa dan benda bergerak lain
sesuai ketentuan syariat.
c)
Pengelolaan harta wakaf tunai
Berbicara mengenai wakaf di Indonesia, khususnya
pengembangan konsep wakaf tunai yang terhitung masih baru, tidak bisa lepas
dari periodesasi pengelolaan wakaf secara umum. Paling tidak ada tiga periode
besar pengelolaan wakaf di Indonesia:
a. Periode
Tradisional
Dalam periode ini, wakaf masih ditempatkan sebagai
ajaran yang murni dalam kategori ibadah mahdhah
(pokok). Yaitu hampir semua benda-benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan
pembangunan fisik, seperti masjid, musholla, pesantren, kuburan, yayasan, dan
sebagainya. Sehingga keberadaan wakaf belum memberikan kontribusi sosial yang
lebih luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.
b. Periode
Semi-Profesional
Periode semi-profesional merupakan pola pengelolaan
wakaf yang kondisinya relatif sama dengan periode tradisional namun pada masa
ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun
belum maksimal. Sebagai contoh adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya
strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar
dan acara lainnya.
Selain hal tersebut juga sudah mulai dikembangkannya
pemberdayaan tanah-tanah wakaf untuk bidang pertanian, pendirian usaha-usaha
kecil seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan
sebagainya yang hasilnya untuk kepentingan pendidikan, meskipun pola
pengelolaanya masih dikatakan tradisional.[8]
c. Periode
Profesional
Yaitu sebuah kondisi di mana daya tarik wakaf sudah
mulai dilirik untuk diberdayakan secara profesional-produktif. Keprofesionalan
yang dilakukan meliputi aspek: manajemen SDM kenazhiran, pola kemitraan usaha,
bentuk benda wakaf yang tidak hanya berupa harta tidak bergerak seperti uang,
saham dan surat berharga lainnya, dukungan political
will pemerintah secara penuh, seperti lahirnya UU No.41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara
profesional produktif tersebut semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan umat
manusia, khususnya muslim di Indonesia yang sampai saat ini masih dalam
keterpurukan ekonomi yang sangat menyedihkan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi maupun
bidang sosial lainnya.[9]
Daftar Pustaka
Nasution
Mustafa Edwin, DKK. 2006. ”Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam”. Jakarta: Kencana
Mardani.
2011. “Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi
Syariah”. Jakarta: Rajawali Pers
Direktorat Pemberdayaan Wakaf. 2007. “Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di
Indonesia”. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf
[1] http://www.imtiazahmad.com/reminders/in_petunjuk_untuk_bersedekah.htm
[2] http://arifinmh.wordpress.com/2008/06/03/9-cara-bersedekah/
[3]http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=infak%20sedekah%20wakaf%20sebagai%20instrumen%20fiskal&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CEQQFjAC&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F32138%2F1%2FSkripsi_3.pdf&ei=THPUIX9H4bZrQerxYDACw&usg=AFQjCNFmnFR5LWsI6soUJVa5UreGN_pg1w&bvm=bv.1355325884,d.bmk
[4]
Mardani.
2011. “Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi
Syariah”. Jakarta: Rajawali Pers
[5]http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=infak%20sedekah%20wakaf%20sebagai%20instrumen%20fiskal&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CEQQFjAC&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F32138%2F1%2FSkripsi_3.pdf&ei=THPUIX9H4bZrQerxYDACw&usg=AFQjCNFmnFR5LWsI6soUJVa5UreGN_pg1w&bvm=bv.1355325884,d.bmk
[6]
Nasution
Mustafa Edwin, DKK. 2006. ”Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam”. Jakarta: Kencana
[8] Direktorat
Pemberdayaan Wakaf. 2007. “Strategi
Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia”. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf
[9]
Ibid hal 2
Comments
Post a Comment