Oleh : Mandala Putra
Senin 20 Mei 2013
Pendapatan Nasional
A. Pengertian
dan ruang lingkup Pendapatan Nasional
Secara sederhana pendapatan nasional
dapat diartikan sebagai jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu Negara
pada periode tertentu biasanya satu tahun. Istilah yang terkait dengan
pendapatan nasional beragam antara lain: produk domestic bruto (gross domestic
product/GDP), produk nasional bruto
(gross national product/GNP), serta produk nasional neto (net national
product/NNP).[3]
Pendekatan ekonomi konvensional
menyatakan GDP atau GNP riil dapat dijadikan sebagai suatu ukuran kesejahteraan
ekonomi (measure of economic welfare) atau kesejahteraan pada suatu Negara.
Pada waktu GNP naik, maka diasumsikan bahwa rakyat secara materi bertambah baik
posisinya atau sebaliknya, tentunya setelah dibagi dengan jumlah penduduk (GNP
per kapita). Kritik terhadap GNP sebagai ukuran kesejahteraan yang tidak
sempurna. Sebagai contoh, jika output turun sebagai akibat orang-orang
mengurangi jam kerja atau menambah waktu leisure/istirahatnya
tentunya hal itu bukan menggambarkan keadaan orang itu menjadi lebih buruk.
B. Keberatan Terhadap Penggunaan GNP
Penggunaan GNP untuk mengukur
pendapatan nasional, kurang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu
bangsa. Nordhaus dan Tobin dari Yale bersama-sama dalam 1972 mengajukan konsep
MEW (Measure of Economic Welfare), tetapi sayang konsep ini tidak berkembang
dan sampai saat ini cenderung penggunaan GDP riil/kapita sebagai ukuran
kesejahteraan suatu Negara masih digunakan. Beberapa keberatan penggunaan GDP
riil/kapita sebagai indikator kesejahteraan suatu Negara sebagai berikut :
1. Umumnya hanya produk yang masuk pasar yang
dihitung dalam GNP. Produk yang
dihasilkan dan dikonsumsi sendiri, tidak tercakup dalam GNP.
2. GNP juga tidak menghitung nilai waktu
istirahat (leisure time), padahal ini
sangat besar pengaruhnya dalam kesejahteraan. Semakin kaya seseorang akan
semakin menginginkan istirahat
3. Kejadian buruk seperti bencana alam tidak
dihitung dalam GNP, padahal kejadian tersebut jelas mengurangi kesejahteraan.
4. Masalah polusi juga sering tidak dihitung
dalam GNP. Banyak sekali pabrik-pabrik yang dalam kegiatan produksinya
menghasilkan polusi air maupun udara. Ini jelas akan merusak lingkungan.[4]
Dari empat contoh di atas cukup
jelas bahwa GNP sesungguhnya sulit digunakan untuk mengukur pendapatan nasional
yang sekaligus dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu bangsa.
C. GNP Dalam Perspektif Islam
Satu hal yang membedakan sistem
ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah.
Falah adalah kesejahteraan yang hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya,
dimana komponen-komponen rohaniah masuk ke dalam pengertian falah ini. Ekonomi
Islam dalam arti sebuah sistem ekonomi (nidhom
al-iqtishad) merupakan sebuah sistem yang mengantarkan umat manusia kepada real welfare (falah), kesejahteraan yang
sebenarnya.[5]
Maka dari itu, selain harus
memasukkan unsur falah dalam menganalilisis kesejahteraan, perhitungan
pendapatan nasional berdasarkan islam juga harus mampu mengenali bagaimana
interaksi instrumen-instrumen wakaf, zakat, sedekah dalam meningkatkan
kesejahteraan umat.
Pada intinya, ekonomi Islam harus
mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan
sosial berdasarkan sistem moral dan sosial Islam (Mannan, 1984). Setidaknya ada
empat hal yang semestinya bisa diukur dengan pendekatan pendapatan nasional
berdasarkan ekonomi Islam, sehingga tingkat kesejahteraan bisa dilihat secara
lebih jernih. Empat hal tersebut adalah :
1. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur
Penyebaran Pendapatan Individu Rumah Tangga.
Kendati GNP dikatakan
dapat mengukur kinerja kegiatan ekonomi yang terjadi di pasar, GNP tidak dapat
menjelaskan komposisi dan distribusi nyata dari output perkapita. Semestinya,
penghitungn pendapatan nasional harus dapat mengenali penyebaran alamiah dari
output perkapita tersebut, Karena dari sinilah nilai-nilai sosial dan ekonomi
Islami bisa masuk. Jika penyebaran pendapatan individu secara nasional bisa
dideteksi secara akurat, maka akan dengan mudah dikenali seberapa besar rakyat
yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.[6]
Barangkali inilah yang menjelaskan, ketika pemerintah Susilo
Bambang Yudhoyono memberikan Bantuan Langsung Tunai (BTL) kepada rakyat miskin,
terjadi banyak ketidakpuasan, karena daftar yang nyata dari rakyat yang
dikategorikan miskin sesungguhnya sangat tidak akurat. Perhitungan dari BPS
didasarkan pada survei yang kurang mencerminkan kenyataan sesungguhnya,
sementara angka GNP memang tidak dapat digunakan untuk mendeteksi jumlah
penduduk miskin.
2. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur
Produksi di Sektor Pedesaan.
Sangatlah disadari bahwa tidaklah mudah mengukur secara akurat
produksi komoditas subsisten, namun bagaimanapun juga perlu satu kesempatan
untuk memasukkan angka produksi subsisten tersebut harus masuk ke dalam
perhitungan GNP. Paling tidak, dugaan kasar dari hasil produksi subsisten
tersebut harus masuk ke dalam perhitungn pendapatan nasional. Komoditas
subsisten ini, khususnya pangan, sangatlah penting di Negara-negara muslim yang
baru dalam beberapa decade ini masuk dalam pencaturan perekonomian dunia.
Satu contoh betapa tidak sempurnanya perkiraan produksi
komoditas subsisten ini adalah, kita tidak pernah benar-benar dapat mengetahui
beberapa sesungguhnya pendapatan masyarakat desa dari sektor subsisten ini.
Oleh karena itu , kita juga tidak mengetui, sekarang ini kondisinya dan apakah
sedang naik atau malah sedang turun. Padahal informasi itu sangat dibutuhkan
pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan, khususnya berkaitan dengan tingkat
kesejahteraan rakyat lapisan bawah yang secara masa memiliki jumlah terbesar.[7]
3. Pendapatan Nasional Harus Dapat mengukur
kesejahteraan Ekonomi Islam.
Kita sudah melihat
bahwa angka rata-rata perkapita tidak menyediakan kepada kita informasi yang
cukup untuk mengukur kesejahteraan yang sesungguhnya. Adalah sangat penting
untuk mengekspresikan kebutuhan efektif atau kebutuhan dasar akan barang dan
jasa, sebagai persentase total konsumsi. Hal itu perlu dilakukan karena,
kemampuan untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan,
pelayanan kesehatan, pendidikan , air bersih, reaksi dan pelayanan publik
lainnya, sesunguhnya bisa menjadi ukuran bagaimana tingkat kesejahteraan dari
suatu Negara atau bangsa.[8]
Sungguh menarik untuk mengkaji apa yang dilakukan Prof. William
Nordhans dan Jomes Tobin dengan Measures
for Economics Welfare (MEW), dalam
konteks ekonomi barat. Kalau GNP mengukur hasil, maka MEW merupakan ukuran dari
konsumsi rumah tangga yang memberi kontribusi kepada kesejahteraan manusia.
Perkiraan MEW didasarkan kepada asumsi bahwa kesejahteraan rumah tangga yang
merupakan ujung akhir dari seluruh kegiatan ekonomi sesungguhnya sangat
bergantung padaa tingkatnya.
Beranjak dari definisi konsumsi yang ada selama ini, kedua
professor itu lalu membagi jenis konsumsi kedalam tiga kategori :
a. Belanja
untuk keperluan publik, seperti membuat jalan, jembatan, jasa polisi, dan
lain-lain
b. Belanja
rumah tangga seperti membeli TV, mobil, dan barang-barang yang habis dipakai.
c. Memperkirakan
berkurangnya kesejahteraan sebagai akibat urbanisasi, polusi, dan kemacetan.
Disamping tiga kategori di atas, kedua
professor itu juga membuat tiga tambahan pendekatan lagi, yakni :
a. Memperkirakan nilai jasa dari barang-barang
tahan lama yang dikonsumsi selama setahun.
b. Memperkirakan nilai dari pekerjaan-pekerjaan
yang dilakukan sendiri, yang tidak melalui transaksi pasar.
c. Memperkirakan nilai dari rekreasi.
Meski MEW ini diukur dalam konteks
barat, konsep ini sebenarnya menyediakan petunjuk-petunjuk yang berharga untuk
memperkirakan level kebutuhan hidup minimum secara islami.
4. Penghitungan Pendapatan Nasional sebagai
Ukuran dari Kesejahteraaan Sosial Islami Melalui Nilai Santunan Antarsaudara
dan Sedekah
Kita tahu bahwa GNP adalah ukuran moneter dan tidak memasukkan transfers payments seperti sedekah.
Namun haruslah disadari, sedekah memiliki peran signifikan di dalam masyarakat
islam. Dan ini bukan sekedar pemberian secara sukarela pada orang lain namun
merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam
masyarakat islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang
mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh datanya, upaya
mengukur nilai dari pergerakan dana semacam ini dapat menjadi informasi yang
sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan sosial yang
mengakar di masyarakat Islam.[9]
DAFTAR
PUSTAKA
v
Rosyidi,
Suherman. 1996, Pengantar Teori Ekonomi,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
v
Nasution,
Mustafa Edwin dkk. 2006, Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
v
Huda,
Nurul dkk. 2007, Ekonomi Makro Islam
Pendekatan Teoretis, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
[1] Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 98.
[2] Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm 193.
[3] Nurul Huda, dkk, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoretis,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007,hlm . 21
[4] Ibid, hlm 27-28
[5] Op. Cit, Mustafa Edwin Nasution,
dkk, hlm. 195.
[6] Ibid, hlm. 197.
[7] Ibid, hlm. 198-199
[8] Ibid, hlm. 199
[9] Ibid, hlm. 200-201.
Comments
Post a Comment